Tentang Minyak Dan Amak-amak Zaman Dahulu

Mar 22, 2022 - 11:17 WIB
Tentang Minyak Dan Amak-amak Zaman Dahulu

JarNas – Dulu saat uang logam 100, 50, 25, dan 10 rupiah masih beredar di kota saya Bangkinang-Kampar, kota kecil yang menyelip di tengah bentang pulau Sumatera itu hanya ada dua jenis minyak goreng.

Saat itu orang masih menyebutnya minyak makan, yaitu minyak arrow dan minyak tani. Minyak arrow ini adalah yang paling berkelas, wadahnya dalam kaleng abu-abu, dan warnanya kuning keemasan, serta hanya mampu dibeli mereka yang berduit.

Sedangkan minyak tani yang ‘kelas dua’, wadahnya dalam drum, berwarna seperti tembaga, dan harganya lebih murah tentunya. Oleh pedagang pun kedua minyak ini mendapat perlakuan berbeda.

Minyak arrow akan dikemas dalam plastik dua lapis, sedangkan minyak tani cukup satu lapis saja. Para pedagang biasanya mendadak autorespect jika ada yang membeli minyak arrow, pertanda yang membeli tajir punya, dan tidak rewel tawar-menawar.

Bagaimana dengan konsumen minyak tani? Sudah pasti ini emak-emak dari kampung, yang ke pasar membawa ‘katidiang’ yang ditaruh di atas kepala. Dalam katidiang itu ada dua botol kosong wadah minyak yang akan dibeli, satu minyak makan, dan satu lagi minyak pasang (minyak tanah).

Para emak-emak tangguh ini tak pernah membeli minyak dalam kemasan plastik, tetapi selalu dengan botol. Dengan alasan budget pas-pasan, mereka akan gigih menawar minyak tani yang dibeli sesuai keinginan, dan jika berhasil, masih ada request tambahan agar minyak diisi sepenuh botol (padahal satu liter minyak hanya sampai ke leher botol).

Untuk kasus seperti ini, saya yang waktu itu selalu membantu Amak berjualan di pasar, adalah idola para emak-emak itu, karena saya selalu bermurah hati memenuhi keinginan mereka. Akibatnya mereka selalu memanggil saya ‘menantu’ di pasar itu.

Makanya lebih seru berhadapan dengan konsumen minyak tani. Para amak dari kampung yang naik rakit ke pasar subuh buta itu polos dan lucu. Sambil melayani mereka, ada-ada saja celoteh menghibur yang membuat saya tertawa.

Berbeda dengan konsumen minyak arrow yang ‘sok jaim’ mentang-mentang mampu membeli minyak mahal.

Saat saya berusaha mengakrabkan diri mengajak ngobrol, mereka menjawab pendek sekali, kadang-kadang hanya dengan sedikit senyum sepersekian detik, sisanya hening sampai transaksi selesai dan si borjuis itu pun pergi dengan angkuhnya. Tidak semuanya sih, namun kebanyakan begitu. Saya memaklumi saja, bodo amatlah, yang penting jualan kita laris.

Begitulah dulu, saat hidup belum sedinamis sekarang. Semua begitu sederhana dan apa adanya. Tidak pernah ada kejadian minyak langka, garam hilang di pasaran, dan segala macam kejadian aneh yang lazim terjadi sekarang.

Mereka para ibu-ibu tulen, yang membesarkan anak-anaknya dengan keringat dan air mata, namun masih mampu tertawa lepas di pasar, membeli sate yang cuma ketupatnya saja, dan kerupuk yang diremuk menggunung di atas piring lalu disiram kuah banyak-banyak. Murah dan kenyang. Lalu para srikandi itu pulang beramai-ramai jalan kaki, tanpa alas kaki, dengan katidiang di atas kepala yang sudah penuh dengan belanjaan, termasuk minyak tani satu botol yang diperoleh dengan penuh perjuangan. Para amak itu tentu sudah tiada kini, dan anak-anak yang mereka besarkan sudah banyak yang menjadi orang besar kini.

Sungguh kadang-kadang saya merindukan masa-masa itu. Meski serba sederhana, namun damai tanpa gejolak prasangka. (HB)