Cerita tentang Raja-raja di Kampar dan hubungannya dengan Malaysia

Jan 26, 2022 - 09:03 WIB
Cerita tentang Raja-raja di Kampar dan hubungannya dengan Malaysia

JarNas – Raja-raja di Kampa yang disebut dengan raja tigobole Selo dinobatkan oleh Dt. Somat dirajo pucuk suku melayu Bendang yang berasal dari Melayu Bendang Kuok.

Hal ini diambil berdasarkan sejarah dan sesuai dengan kesepakatan ninik mamak nan delapan Kampa dan ninik mamak Kuok.

Setelah beberapa tahun raja buyung dinobatkan sebagai raja Kampa, maka selanjutnya berdasarkan kesepakatan ninik mamak nan 20 kenegrian Kuok (Koto Lindung Bulan) Kembali menobatkan raja pertama kerajan Siak bernama Raja Kociok (Raja kecil) untuk jadi raja Siak I pada abad 15 M yang ditempatkan di Buatan Siak.

Baik raja Buyung yang di nobatkan di Kampa maupun Raja Kociok yang dinobatkan di Siak yang diantarkan langsung oleh ninik mamak Kuok dan Limo Koto.

Kedua raja ini berasal dari anak kemenakan Andiko 44 yang diberangkatkan dari Koto Lindung Bulan Kuok. Kemudian pada abad 13 Koto Lindung Bulan pindah ke Damasraya dan Pagaruyung Batu Sangkar (13-18 M).

Sekalipun kerajaan Kampa pernah dikalahkan oleh kerajaan Malaka pada abad 14, namun kerajaan malaka tidak sampai menguasai kerajaan Kampa. Karena Kampa juga di lindungi oleh saudara-saudaranya dari Limo Koto (Kuok, Air Tiris, Bangkinang, Rumbio, Salo) secara defacto tergabung dalam kerajaan Pagaruyung Sumatera Tengah.

Sebenarnya kerajaan Malaka raja pertamanya Sangsapurba juga berasal dari keturunan raja-raja Sriwijaya di Muara Takus. Kerajaaan Malaka kekuasaannya tidak sampai ke Kampa dan Lima koto namun emperiumnya sampai ke Kepulauan Riau dan pesisir timur Sumatera.

Pada tahun 1511 M Pasukan portugis secara tiba-tiba datang menyerang malaka. Maka terjadilah perang sengit antar pasukan kerajaan Malaka melawan portugis yang telah menguasai teknologi perkapalan dan persenjataan yang canggih pada waktu itu.

Sebenarnya ilmu tersebut mereka adopsi dari ilmu bangsa melayu tua yang telah menyebar ke berbagai bangsa di dunia.

Penyerangan portugis pada tahun 1511 M terjadi pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah Akhirul Zaman. Beliau adalah pewaris tahta sultan Iskandar Syah sultan pertama malaka yang telah berubah nama setelah beliau memeluk Islam.

Setelah kalah dari portugis tahun 1511 M, sultan Mahmud Syah berundur ke pulau Bintan Kepulauan Riau dan memerintah di Bintan sampai 1524 M. Sewaktu tinggal di pulau Bintan Sultan Mahmud Syah berkali-kali melakukan penyerangan ke Malaka untuk merebut kembali kota Malaka.

Sultan Mahmud Syah juga dibantu oleh pasukan Bugis dan Jawa. Ternyata portugis tak bisa dikalahkan karena mereka telah berhasil membangun benteng pertahanan yang sangat kokoh di bukit Koto Malako (Malaka) dekat muara sungai duyung.

Akhirnya 1525 M sultan Mahmud Syah Akhirul Zaman beserta keluarga dan pasukannya berundur ke negeri Kampar untuk meminta bantuan negeri Limo Koto yang pada waktu itu tergabung dengan kerajaan Pagaruyung Batusangkar. Sultan Mahmud Syah beserta keluarga dan prajurut yang setia datang ke Kampar menggunakan Empat Puluh Dua Perahu.

Di sinilah terjadinya hubungan baik dan bersahabat antara rakyat Kampa, Limo Koto dan keluarga Sultan Mahmud Syah beserta prajuritnya. Mahmud Syah berundur ke Kampar di iringi pasukan Limo Koto yang pernah ikut membantunya melawan portugis.

Pada waktu kedatangan Sultan Mahmud Syah tersebut, di kerajaan Kampa pada masa itu terjadi kekosongan pemerintahan karena sebelumnya raja Kampa sultan Abdurrahman mangkat. Pada tahun 1526 M.

Sultan Mahmud Syah Akhirul Zaman disetujui oleh ninik mamak nan delapan Kampa untuk di angkat menjadi sultan kerajaan Kampa dan dinobatkan oleh datuk Somad dirajo pucuk suku melayu bendang kenegrian Kampa.

Dengan dinobatkannya Sultan Mahmud Syah khalifatullah Akhirul Zaman menjadi sultan Kampa 1526 M, dapat ditarik kesimpulan betapa eratnya hubungan persaudaraan dan kekerabatan antara masyarakat melayu tua Kampar Andiko44, Limo Koto dengan masyarakat melayu semenanjung Malaysia sehingga bisa menerima dan merestui Sultan Mahmud Syah, sang raja yang berada di pengasingan dinobatkan kembali menjadi raja Kampa.

Ini adalah sebagai bukti bahwa sebenarnya negeri melayu itu adalah satu rumpun. Baik melayu Kampar sumatera maupun melayu semenanjung.

Apalagi para rajanya sama-sama berasal dari silsilah asal keturunan yang sama yaitu berasal dari rumpun melayu tua yang berpusat di Muara Takus Kampar (Pusat Pemerintahan Andiko 44).

Sultan Mahmud Syah Khalifatullah Akhirul Zaman memerintah di Kampar selama dua setengah tahun mulai dari tahun 1526-1528 M.

Makam Tun Fatimah Di Desa Sungai Tonang Kabupaten Kampar
Makam Tun Fatimah Di Desa Sungai Tonang Kabupaten Kampar

Kedatangan Sultan Mahmud Syah ke Kampar juga didampingi oleh permaisurinya yang bernama Tun Sri Fatimah putri dari bendahara kerajaan Malaka dan mangkat (meninggal) pada tahun 1527 M dan dikebumikan di koto Sei Tonang Air Tiris Kampar (Makamnya masih ada sampai sekarang).

Selain isteri dan kerabat kerajaan lainnya juga ikut serta adalah juga putera mahkota Mahmud Syah yang berumur 9 tahun yang bernama Alaudin Riayat Syah.

Setelah sultan Mahmud Syah mangkat 1528 M yang didahului oleh isterinya 1527 M Tinggallah puteranya Alaudin Riayat Syah beserta keluarganya.

Putera mahkota ini sangat terpukul dan merasa tidak tenang karena ditinggal kedua orang tuanya. Akhirnya pada tahun 1530 M.

Diusianya yang ke 13. Alaudin Riayat Syah kembali ke tanah semenanjung Malaysia tepatnya di Pahang.

Beliau disambut dengan suka cita oleh saudara bapak serta pamannya di tanah melayu Semenanjung Malaya. Beberapa tahun kemudian, diusia yang relatif masih muda pangeran muda yang datang dari Kampa ini diangkat menjadi raja di negeri Pahang Malaysia.

Nama raja Kampar lainnya yang cukup dikenal sampai negeri semenanjung melayu, Kepulauan Riau, Siak, Sumatera Utara dan Aceh adalah raja Abdullah.

Pada masa pemerintahannya pengaruh kekuasaan raja Abdullah sampai ke Sumatera Utara dan Aceh bahkan Johor. Kita tidak bisa melupakan bahwa buku Silalatus Salatin (Silsilah Raja Melayu) yang cukup terkenal itu ditulis oleh Tun Sri Lanang 1614 M.

Buku tersebut dibuat atas perintah raja Abdullah sultan Kerajaan Kampa yang disebut juga sebagai penguasa pekan tua Kampa, ditulis dalam tulisan jawi atau arab melayu lama.

Dalam sejarah juga dituliskan bahwa raja Abdullah pernah di tuduh bersekongkol dengan portugis untuk menyerang Malaka dengan perjanjian bahwa portugis akan mendudukkan raja Abdullah sebagai raja Malaka.

Ternyata portugis menjalankan tipu muslihat terhadap sultan Abdullah. Beliau tidak didudukkan sebagai raja Malaka tetapi hanya sebagai bendahara bagi orangorang yang menjalin kerjasama dengan portugis.

Sultan Abdullah tidak senang dengan pekerjaan yang ditugaskan oleh portugis tersebut.

Secara diam-diam beliau menyusun kekuatan untuk mengadakan pemberontakan terhadap portugis. Rencananya itu akhirnya dibocorkan oleh Sultan Mahmud Syah (Menjadi rival semasa hidup) kepada penguasa portugis di Malaka.

Akhirnya portugis menjalankan tipu muslihatnya dan berhasil memperdaya raja Abdullah.

Kemudian raja Abdullah dibawa naik ke kapal portugis dan sampai ditengah selat melaka Beliau di bunuh di tengah laut. Menurut versi lainnya raja Abdullah dibuang ke Goa Sulawesi Selatan.

Setelah melalui masa pasang surut zaman pemerintahan kerajaan Kampa maka sampailah pada masa pemerintahan raja terakhir kerajaan Kampa, yaitu sultan Adli Syah yang mangkat tahun 1939 M di Kampa.

Beliau di makamkan tidak jauh dari bekas istana kerajaan Kampa di dekat Mesjid raja Kampa (Mesjid Kubro) yang masih berdiri kokoh sampai sekarang.

Sultan Adli Syah merupakan raja Kampa terakhir dari raja 13 Selo. Beliau mangkat tanpa meninggalkan keturunan atau pewaris tahta kerajaan.

Kerajaan Kampa berakhir setelah mangkatnya sultan Adli Syah. Sutan Kampa ke 13 Sultan Adli Syah turut berjasa terhadap perjuangan kemerdekaan RI. Karena pangkat kebesarannya pernah disumbangkan bagi perjuangan untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Yaitu berupa tanda pangkat kerajaan terbuat dari emas yang disebut Pisang Sasikek.

Setelah wafatnya Sultan Adli Syah kerajaan Kampa tidak lagi memiliki raja ssampai sekarang. Dan sebelumnya belum ada usaha untuk menggantinya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor :

Sultan terakhir tidak memiliki keturunan, dan keluarga terdekatnya banyak yang hijrah ke Malaysia.

Penjajah Belanda tetap mengawasi terus dan melarang usaha pengganti Sultan Kampa selanjutnya, karena pengangkatan Sultan akan membahayakan posisi penjajah Belanda. Karena raja tentu akan menggerakkan rakyatnya untuk memberontak melawan penjajah. Oleh sebab itu penjajah merampas kedaulatan raja dan rakyat Kampar (Indonesia).

Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, maka secara otomatis kedaulatan berada ditangan pemerintah NKRI. Dan raja-raja Nusantara telah sepakat untuk mengakui berdirinya NKRI sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat.

Untuk mengingat kembali era kejayaan dan kebesaran sejarah masalalu di kampar Riau dan untuk mengangkat marwah dan jati diri negeri Melayu, maka pada bulan Januari sampai Maret 2018 tokoh masyarakat dan Ninik Mamak kenegrian Kampar selalu bermusyawarah untuk menghidupkan kembali tradisi yang sudah lama dilupakan orang.

Untuk menyambung kembali mata rantai sejarah yang sudah sekian lama terputus tersebut, maka tokoh masyarakat dan ninik mamak telah sepakat untuk memilih sosok yang tepat untuk jadi pemimpin dan penerus kesultanan kerajaan Kampa yang ke 14.

Dalam musyawarah tersebut setelah mempertimbangkan latar belakang silsilah keturunan, latar belakang pendidikan, latar belakang Agama, dan Adat, sikap dan tindak tanduk serta prestasi yang dimiliki, maka pilihan ninik mamak dan tokoh masyarakat Kampar menjatuhkan pilihan kepada :

H. Zainal Azis saat dinobatkan Sultan Kampa ke-14 dengan gelar Sultan Mahmud Syah Khalifatullah Akhirulzaman

Bapak H. Aziz Zainal, S.H.,M.M (Bupati Kampar periode 2017-2022) sebagai penerus kesultanan kerajaan Kampa yang ke-14. Untuk dinobatkan menjadi Sultan Kampa ke-14 dengan gelar Sultan Mahmud Syah Khalifatullah Akhirulzaman yang dinobatkan di Kampa pada tanggal 26 Maret 2018.

Sebagai bukti dan fakta nyata bahwa kerajaan Kampa benar-benar ada dan pernah menghiasi lembaran emas sejarah di bumi Melayu Riau dapat kita jelaskan sebagai berikut :

Raja Kampa terakhir Sultan Adli Syah semasa ia berkuasa beliau tinggal di Istana kebesarannya di pekan tua Kampa. Bekas lokasinya di pelataran SDN Kampa Sekarang. Istana tersebut masih berdiri dan dapat disaksikan, sebelum dirobohkan 1950an. (bekas istana masih ada)

Masjid Raja Kampa (Masjid Kubro) masih ada dan berdiri kokoh sampai sekarang ini mirip seperti masjid Jami’ Air Tiris, Masjid Tua Demak dan Masjid Tua di Malaka. Lokasinya di Desa Kampa lebih kurang 1.5 Km dari jalan raya.

Cap mohor raja/sultan Mahmud Syah Khalifatullah Ahiruzaman terbuat dari perak, dengan tangkai ukiran seperti tanduk yang terbuat dari perak berukir, bermotif Melayu dan Arab. Cap inilah yang menjadi bukti bahwa sultan Malaka terakhir (1511 M) pernah jadi Sultan kerajaan Kampa (1526-1528 M).

Cap kerajaan berbentuk lingkaran bulat pipih, terbuat dari besi/logam. Cap ini dianggap aneh karena terdapat tulisan di bagian muka dan bagian belakangnya. (sampai sekarang belum ada yang bisa membacanya.). kalau dilihat tulisannya adalah tulisan bergaya Arab Kufi.

Tombak kebesaran Raja (berukuran besar) dengan panjang lebih kurang 3 meter (dibawah dari Malaka).

Tombak Trisula (tombak kebesaran kerajaan) berbentuk 3 buah mata tombak seperti keris. Biasanya ini dipakai untuk acara kenegaraan, dan sebagai tiang bendera perang (dibawa dari Malaka).

Meriam Tembaga kerajaan yang diberi nama “Bujang Kalebong”.

Cupak Emas berukir yang dibawa dari Malaka (telah hilang).

Baju kebesaran Raja bersulam benang emas telah hancur.

Peti Sogha kerajaan. Tempat menyimpan pakaian dan barang-barang raja serta permaisurinya (telah hancur)

Meja batu (diduga dari Giok) berukuran sebesar lemari /meja. Masih ada (hilang/ tenggelam secara ghaib bisa muncul kembali)

Tanda pangkat kebesaran terbuat dari emas disebut “Pisang Sasikek” telah diserahkan kepada negara sebagai tanda ikut berjuang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

Bekas makam Raja (12 Selo) lokasi kuburan Raja di Koto Tinggi lebih kurang 3 Km dari Istana Raja.

Bekas benteng pertahanan dan parit perang sepanjang lebih kurang 1 Km tinggi 4 m dan lebar 3 m (sisa-sisanya masih bisa disaksikan sampai sekarang) lokasi : dikarangan tinggi lebih kurang 4 Km dari Pekan Tua atau 500 m dari jalan aspal di Karangan Tinggi.

Makam Panglima Perang kerajaan Kampa lokasi di dekat benteng/parit perang (4 Km dari Pekan Tua)

Makam Sultan Kampa terakhir (Sultan Adli Syah) yang mangkat tahun 1939 di Pekan Tua Kampa lebih kurang 500 m dari Masjid Raja Kampa.

Makam Permaisuri Sultan Mahmud Syah bernama Tun Sri Fatimah yang wafat tahun 1527 M. Makam berlokasi di perkuburan tua Sai Tonang Air Tiris.

Bekas pelabuhan kuno tempat tambatan perahu Dondang dan perahu Kajang dan sebagai pusat perdagangan (pasar) lokasi di karangan tinggi lebih kurang 500 m dari kompleks makam raja-raja Kampa.

Gong kebesaran kerajaan Kampa (telah hilang). Kilangan Tebu kerajaan (telah musnah). Lelo besar kerajaan telah hilang.

Cerita singkat ini ditulis di Bangkinang, 23 Maret 2018.

Sayangnya Bupati Kampar periode 2017-2022 H. Abdul Aziz wafat pada 27 Desember 2018, setelah 9 bulan menjadi Sultan Kampa ke-14 dengan gelar Sultan Mahmud Syah Khalifatullah Akhirulzaman.

Setelah 49 hari wafat, dia digantikan wakilnya Catur Sugeng Susanto yang dilantik pada 12 Februari 2019.