Dosen UIR Rahyunir Rauf Sebut Calon Anggota Legislatif Mesti Fit and Proper Test

JarNas – Seringkali muncul keluhan masyarakat terhadap kualitas anggota legislatif dalam menangani suatu permasalahan, karena itu penting dilakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).
Salah seorang dosen Universitas Islam Riau Dr. Rahyunir Rauf menegaskan seseorang yang akan menjadi anggota legislatif mestinya dilakukan fit and proper test terlebih dahulu.
“Saat ini sedang proses pileg, Calon Anggota Legislatif (Caleg) seharusnya dilakukan fit and proper test, di Indonesia tidak pernah dilakukan fit and Proper test, sementara mereka yang duduk melakukan fit and proper test terhadap pejabat publik seperti dilakukan terhadap Kapolri, sedangkan mereka sendiri duduk menjadi pejabat publik tidak melalui fit and proper test,” kata Rahyunir saat menjadi salah seorang narasumber pada kuliah umum di lantai III gedung Pasca Sarjana UIR, Senin (15/5/2023).
Ia menegaskan, “Bagaimana mendapatkan anggota legislatif berkualitas kalau tidak dilakukan fit and proper test,” ujarnya.
Dalam kuliah umum yang bertema Mencari Demokrasi Pancasila Menghadapi Pemilu 2024 sekaligus penandatanganan Memory of Agreement (MoA) antara Universitas Islam Riau dan Universitas Djuanda Bogor itu hadir narasumber lainnya Prof. Martin Roestamy SH MH, Direktur Pasca Sarjana UIR Prof. H. Yusri Munaf, SH., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Marwati, Wakil Rektor I Syafhendri, Wakil Rektor II Firdaus, Rektor III Admiral serta para dosen dan mahasiswa UIR.
Selain itu, dia menyebutkan bahwa inti dari Demokrasi Pancasila menentukan keputusan berdasarkan musyawarah dan mufakat, sehingga sulit terwujud jika tidak dalam ranah politik karena politik orientasinya mempertahankan kekuasaan maka sering terjadi dalam pemilihan umum berujung ke ranah hukum.
Ia mengutip pendapat ahli David Easton bahwa ada keterkaitan antara sistem pemerintahan, pemilu dan kepartaian, maka jika salah satu sistem berubah akan mempengaruhi sistem lainnya.
Dia menjelaskan bahwa sistem pemerintahan Indonesia dengan sistem kepartaian tidak singkron. Sistem pemerintahan orientasinya desentralisasi sedangkan partai sentralisasi.
Segala sesuatu yang menentukan adalah pimpinan Parpol tertinggi sehingga dalam pemilihan kepala daerah tidak bisa ditentukan oleh daerah, ini yang bertentangan dengan keinginan masyarakat karena parpol yang menentukan.
Maka tidak heran jika banyak terjadi bupati/walikota menolak diundang oleh gubernur karena pimpin di tingkat kabupaten/kota tidak sama parpolnya dengan tingkat provinsi begitu juga di tingkat nasional dan ini akan menyulitkan proses penyelenggaraan dalam pemerintahan. Keinginan masyarakat tidak sama dengan keinginan dewan pimpinan parpol.
Menurut Paulus Habert, Demokrasi yang baik memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menentukan pilihannya sesuai hati nurani tanpa intervensi dari pihak manapun, sedangkan pilihan itu sudah ditentukan oleh parpol ini yang terjadi sistem kepartaian tidak sama dengan sistem pemerintahan. Oleh karena itu disarankan agar parpol meminjam sistem kepartaian itu sendiri.
Kemudian dosen pasca sarjana ini menyampaikan bahwa sistem pemilu Indonesia itu campuran distrik dan profesional.
Ada pemilihan dan perolehan kursi berdampak kehidupan politik sehingga legitimasi seseorang yang menduduki jabatan tidak sepenuhnya memenuhi kuota.
Menurutnya azas pemilu Luber dan Jurdil perlu ditinjau kembali karena banyak masalah karena azas Jurdil tidak bisa diukur.
Ia juga mengkritik terhadap sistem pemerintahan dan kepartaian yang terpolarisasi. Menurutnya harus diatur dengan jelas pejabat politik dan pemerintah tidak dibenarkan menjadi ketua parpol.
Pada masa orde baru, setelah menduduki jabatan publik, maka jabatan sebagai ketua Parpol harus dilepaskan. “Sekarang terbalik, kalau sebelumnya tidak pernah jadi ketua parpol setelah duduk malah jadi ketua parpol,” ujarnya. (Nty/jnn)